Oleh: Nefrizal Pili – Pimred Media Redaksi86.com & Ketua DPC PJS Kabupaten Kampar
OPINI, Redaksi86.com — Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) adalah satu dari sedikit paru-paru hijau yang tersisa di Riau, bahkan di Indonesia. Namun, kini TNTN tengah menghadapi dilema serius: antara menjaga kelestarian alam dan memperhatikan aspek kemanusiaan. Dilema ini bukan sekadar konflik antara manusia dan hutan, tapi lebih dalam dari itu—menyangkut kebijakan, pengawasan, hingga keadilan sosial.
Menurut data resmi Balai TNTN, kawasan yang semula memiliki luas 81.793 hektar kini hanya tersisa sekitar 13.750 hektar atau 16,8 persen dalam kondisi hutan alam. Selebihnya, yakni lebih dari 40.468 hektar telah beralih fungsi menjadi kebun kelapa sawit. Sebuah angka yang menggambarkan bagaimana cepatnya degradasi kawasan konservasi terjadi, dan bagaimana lemahnya upaya perlindungan Kawasan Konservasi selama ini.
Yang lebih kompleks lagi, kini kawasan TNTN juga telah menjadi tempat tinggal bagi sekitar 15.000 jiwa, dimana hanya 10 persen merupakan penduduk asli (sumber: Tempo.co), Selebihnya adalah pendatang yang umumnya datang untuk membuka lahan, bertani, atau bekerja di kebun-kebun sawit. Mereka membawa harapan hidup yang lebih baik, namun justru menghadirkan tekanan berat terhadap ekosistem.
Pertanyaan mendasarnya: siapa yang harus disalahkan?
Apakah masyarakat yang sekadar ingin hidup layak? Atau justru Negara yang abai menyiapkan solusi komprehensif dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi yang sudah bertahun-tahun telah dihuni manusia? Ini bukan sekadar urusan Pelanggaran Hukum Lingkungan, tapi kegagalan kita sebagai bangsa untuk memastikan keadilan ekologis.
Kita tidak bisa bicara konservasi tanpa menyentuh aspek kemanusiaan. Penegakan hukum penting, namun harus dibarengi pendekatan sosial yang adil. Relokasi tanpa jaminan hidup layak hanyalah bentuk pengusiran terselubung. Sebaliknya, pembiaran terhadap konversi lahan ilegal sama saja menandatangani kematian ekosistem Tesso Nilo.
Sudah waktunya Pemerintah, baik pusat maupun daerah, serta semua pemangku kepentingan duduk satu meja. Menyusun ulang peta jalan konservasi TNTN dengan tetap mengedepankan prinsip kemanusiaan dan keberlanjutan. Tidak ada solusi instan. Tapi membiarkan status quo berjalan hanya akan mempercepat kehancuran.
Antara kelestarian dan kemanusiaan, tidak harus kita pilih salah satunya. Yang harus kita bangun adalah jalan tengah—keadilan ekologis yang berpihak pada masa depan bersama.**
Editor: Redaksi