APKASINDO Desak Kemendag Lindungi Harga TBS Petani Terkait Kebijakan DMO dan DPO

APKASINDO Desak Kemendag Lindungi Harga TBS Petani Terkait Kebijakan DMO dan DPO

Bacaan Lainnya
IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

JAKARTA, Redaksi86.com – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) mendukung kebijakan stabilisasi harga minyak goreng melalui Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO). Namun, pemerintah harus melindungi harga TBS (Tandan Buah Segar) sawit petani supaya tidak tertekan.

“Kami setuju kebijakan DMO dan DPO. Namun, kami minta pemerintah melindungi dengan strategi dan kebijakan harga TBS petani, korelasinya kuat sekali, ” ujar Dr. Ir. Gulat Manurung, MP.,CIMA, Ketua Umum DPP APKASINDO.

Ia menengarai para spekulan harga CPO ikut bermain, untuk itu Kantor Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) Inacom diharapkan all out mengawal kebijakan DMO dan DPO ini.

Seperti hari ini tender di KPBN, hasil monitor DPP APKASINDO, sudah terindikasi spekulan bermain dengan menawar harga CPO domestik Rp11.000/kg.

“Jelas ini gak masuk akal, penawarannya turun sampai Rp.4.000/kg. Sementara di saat yang bersamaan harga CPO di Malaysia dan CIF Rotterdam posisi naik, ” tambahnya.

Gulat mengibaratkan Kebijakan DMO dan DPO seperti “Jangan mengobati satu penyakit, muncul pula penyakit baru. Penyakit baru ini di sektor hulu nya (harga TBS Petani) dan ini tugas KPBN yang mengurusinya. Jadi, harus tegak lurus dengan tujuan Presiden Jokowi.

Ada tiga syarat yang kami ajukan berkaitan kebijakan Kemendag ini. Syarat pertama adalah penetapan harga sawit dan kewajiban DMO oleh Kemendag tidak berdampak kepada harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit petani.

Gulat menegaskan kebijakan DMO dan DPO jangan menjadi “modus” untuk menekan Indeks K pada saat penetapan harga TBS sawit di 22 Provinsi Perwakilan APKASINDO. Karena bukan seperti ini keinginan Presiden Jokowi.

“Semakin rendah indeks K, maka harga TBS akan semakin rendah pula itu rumusnya. Kementerian Perdagangan harus mengantisipasi ini dan segera berkoordinasi dengan kementerian terkait,” jelasnya.

Gulat mengatakan setiap hari Selasa diumumkan harga TBS, harus gerak cepat mengantisipasi dampak kebijakan DMO dan DPO ini terhadap harga TBS Petani sawit dan KPBN harus kerja keras.

“Jadi harga TBS petani jangan dikonversikan ke harga DPO CPO (Flat Rp.9.300) dan kebijakan DMO CPO untuk memasok kewajiban 20 persen DMO tersebut, ” tambahnya.

Dikatakan Gulat, harga TBS Petani wajib merujuk harga KPBN dengan pembanding harga Rotterdam dan Malaysia, bukan memakai patokan harga DPO Price.

“Kalau DPO Price menjadi patokan, maka harga KPBN (lelang CPO dalam negeri) dengan Harga CPO Rotterdam akan semakin jauh bedanya dan akan berdampak ke harga TBS Petani, ” ujar Gulat.

Dikatakan Gulat, petani sawit saat ini sudah sangat tertekan dengan harga pupuk, herbisida, pestisida yang tinggi, dan ditambah lagi beban BK (Bea Keluar) dan PE (Pungutan Eksport) yang totalnya mencapai 375 USD/ton CPO.

“Kami petani sawit mensyukuri selama ini bahwa harga TBS bukan dibentuk dari HPP (Harga Pokok Produksi) tapi terbentuk dari rujukan harga perdagangan internasional dan inilah perbedaannya dengan komoditi lainnya,” jelas Gulat.

Untuk itulah kami setuju Dikunci di DPO dan DMO untuk menjamin ketersediaan bahan baku konsumsi dalam negeri, namun hanya untuk kebutuhan konsumen tertentu seperti kebutuhan Migor Gotong Royong (Migor GR).

Kedua, ia menyarankan pemerintah untuk membuat lembaga penampung CPO dari kewajiban 20%. Nantinya, produsen minyak goreng GR mengambil CPO dari lembaga penampung ini (tangki sentral). Langkah ini dapat diambil supaya akurat dan jelas penggunaannya (transparan).

“Jadi, tidak bisa CPO yang 20% disalahgunakan penggunaannya karena semua tersentral. Tidak ada lagi ruang gelapnya,” kata Gulat.

Ketiga, pemerintah segera perbaiki tata kelola minyak goreng terutama persebaran pabrik minyak goreng GR. Akan lebih baik bagi pemerintah memfasilitasi UMKM petani untuk memproduksi minyak goreng GR atau bermitra dengan produsen migor GR dalam hal distribusi kewajiban yang 20% seperti misalnya UMKM atau sejenis. Ini akan lebih permanen dan manfaat ganda ekonomi sawit akan lebih tinggi.

“Pabrik minyak goreng dapat didirikan dekat kebun petani sebagai upaya mewujudkan industri strategis yang terintegrasi terkhusus disekitar kebun peserta PSR Swadaya. Ini pasti clear pergulatan minyak goreng ini dan permasalahannya tidak akan terulang,” pungkasnya.**

Editor : Redaksi

Sumber : sawitindonesia.com

Pos terkait