JAKARTA, 9 Februari (Reuters) – Indonesia sedang menyusun peraturan yang memungkinkan outlet media menerima pembayaran dari platform digital atau agregator yang membawa konten mereka, tutur pada Dewan Pers pada hari Kamis .
Undang-undang baru ini diharapkan dapat menyamakan kedudukan antara media dan perusahaan teknologi dalam hal menyediakan konten dan menghasilkan keuntungan, ungkap Arif Zulkifli, anggota Dewan Pers Indonesia.
Undang-undang, yang diajukan dua tahun lalu, terinspirasi oleh undang-undang serupa di Jerman dan Australia, dan diharapkan dapat diterbitkan sebagai peraturan presiden dalam waktu satu bulan.
Platform digital di Indonesia termasuk Facebook, Google <GOOGL.O) Alphabet Inc, dan beberapa agregator lokal.
Arif mengatakan platform ini mendapat manfaat dari membawa konten yang dihasilkan oleh perusahaan media sementara “kebanyakan media menerima keuntungan kecil“.
“(Tidak ada) keseimbangan dalam hal ini,” katanya.
Dalam undang-undang yang baru, Dewan Pers akan menentukan struktur harga dan skema pembayaran, sekaligus bertindak sebagai mediator jika terjadi perselisihan.
Di Australia, Kode Perundingan Media Berita mulai berlaku pada Maret 2021. Sejak itu, perusahaan teknologi telah menandatangani lebih dari 30 kesepakatan dengan outlet media untuk memberi mereka kompensasi atas konten yang menghasilkan klik dan dolar iklan, menurut laporan Departemen Keuangan negara tersebut.
Perjanjian ini telah memungkinkan bisnis berita untuk mempekerjakan jurnalis tambahan dan melakukan investasi berharga lainnya dalam operasi mereka, kata laporan itu.
Berbicara pada acara memperingati pers Indonesia pada hari Kamis, Presiden Joko Widodo menyebutkan kebutuhan mendesak untuk undang-undang baru karena 60% pasar periklanan di negara Asia Tenggara didominasi oleh platform digital asing.
“Sekitar 60% belanja iklan diambil media digital, terutama platform luar negeri. Ini menyedihkan,” ujarnya.
sumber : www.reuters.com