Redaksi86.com – Apa tanda Melayu jati. Hutan tanah dijaga sepenuh hati. Apa tanda Melayu berani, terhadap cabaran suka dia dihadapi. Dahulu di Riau, ada tokoh fenomenal Tabrani. Disusul pula Al Azhar Al Rohul-i. Bersambung pula ke ghezah Hajjah Azlaini. Nun jauh di sudut Kota Dumai, lahirlah budak Melayu “teking” bernama Syahril Abu Bakar.
Masuk APDN berita cita ingin jadi pamong negeri. Tapi arah haluan hidup berubah, ketika melihat puak Melayu luntang-lantung di tanah sendiri. Syahril muda merenung akan hutan tanah Bumi Lancang Kuning dibabat HPH, berlanjut HTI (Akasia) dan kini HGU (Negeri 1000 Sawit).
Dilihat Syahril yang punya bukan putra-putri rantau ini, bahkan hutan tanah bekecai, Sungai tempat peradaban Melayu besepai, nak kerja di perusahaan pun badan tekelepai.
Ia putar arah hendak jadi pengusaha. Dia nekat berhenti dari PNS, apatah lagi ikrarnya terbukti. “Kalau Bang Rusli jadi Gubernur, jelas aku berhenti,” demikian azam membuku di hati.
Saya baru beberapa bulan ini (di jung tahun 2024) memahami sosok Kanda Syahril Abu Bakar. Beliau mengombinasikan rasa sayang pada dunia Melayu dengan keinginan untuk membangkitkan ekonomi putra-putri dengan merebut peluang bisnis. Banyak orang yang tidak memahaminya sewaktu “heboh” Lembaga Adat Melayu beberapa tahun lalu.
Kanda Syahril, begitu saya selalu menyebut beliau, berdiri di antara Marx dan kaum Platois. “Materi membentuk peradaban,” kata Marx, karena itulah seorang Syahril AB mengambil jalan pragmatis dengan kecenderungan bisnis demi menegakkan kepala orang Melayu.
Tapi Syahril juga masih menyimpan memori tentang idelita Melayu, komitmen menjaga marwah, membela puak Melayu, dan belum lama ini “mendadak geruduk” Krimum Polda Riau demi membela 3 Budak Rohul yang tersandera hukum.
Di tengah arus kontroversi definisi lembaga adat, tokoh adat, dan Riau yang semakin kehilangan figur pembela secara dramatis – spontan, Syahril sesekali muncul dengan natural. Tidak dibuat-buat.
Ketika saya meminta rekomendasi untuk dibantu Bank Indonesia Perwakilan Riau, sekitar sebulan lalu, beliau langsung menyambut dengan jiwa khitmat. “Bikinkan konsepnya Pak Doktor, segera kita ketik suratnya,” demikianlah potret komitmen kemelayuan seadanya.
Padahal hubungan kami “due beradek” kawan bergelut bak lautan kadang pasang surut. Tau sama tau lah, “saya ini ‘sepeda tak berlampu,’ sekali muncul kemusykilan yang mengacau negeri saya sikat. Kadang tak tahu entah siapa yang tersinggung atau tersenggol.
Beliau Kanda Syahril tak pernah mengingat saya pernah mengkritik idenya, atau berbeda pendapat dan pandangan. Saya pun melakukan semua itu demi memartabatkan negeri. Dengan idealisme yang tanpa basa-basi, sebagaimana beliau, pasti ada pro-kontra. Dan itulah dinamika manusia dengan kebudayaannya, dengan kreasi sejarah yang hendak diukirnya. Serta dengan pilihan cara, tindakan, dan kebijakan yang tak mesti diterima semuanya.
Saya kira Kanda Syahril Abu Bakar ada benarnya. Kombinasi materialisme Marx dan spiritualisme Melayu masih dibutuhkan hari ini di Bumi Riau. Kalau budak-budak Melayu masih “segan silu” bersaing dalam pertarungan bisnis, pertandingan ekonomi, merebut PHR dan perusahaan-perusahaan yang sudah lama menjarah pertiwi, maka alamat mereka hidup papa kedana. Hutan tanah dikuasai orang, nak memancing sungai kerontang, pergi berladang dicegat satpam kumisnya panjang, mencari rotan dikejar siamang, pergi kenduri diketepi orang, masuk gelanggang (politik) kepala berkubang, nak maju Pilkada kocik saku berlobang, ikut tender tak pernah menang, tinggal di rumah bini meradang, sampai mati tak bayang hutang.