Seorang aktor meliuk-liuk di atas sebuah trap persegi dengan ruang kosong di bawahnya. Ia menjadi gimmick yang menarik dalam penjelmaan sebuah pentas dengan judul “Lesung Gelegaran” karya sutradara Ade Pura Indra. Sebuah gelaran yang dipertontonkan dalam Jagat Teater Riau yang ditaja oleh Dinas Pariwisata Riau di Anjungan Seni Idrus Tintin pada 24-26 September 2022. Kegiatan ini menghadirkan lima kelompok teater yang menampilkan karya inovasi.
Teknik muncul lain setelah lelaki di atas dipan, disusul seorang aktor dengan menggunakan pengeras suara, persis seperti orang demonstrasi. Ia berteriak-teriak dan membaca pernyataan aksi.
“Mendesak kepada pemerintah untuk memikirkan kesejahteraan petani dengan memastikan memiliki lahan untuk mata pencarian!”
Pernyataaan itu terus ia bacakan dengan emosi meledak-ledak. Tanpa ada keinginan untuk berhenti, mulutnya semakin cepat membaca sampai akhirnya ia keluar dan meninggalkan panggung. Terdengar bebunyian suara angin, bebano dan perkusi kayu secara ritmis.
Lesung yang terletak di panggung sebagai sebuah set properti, lengkap dengan alu. Ia kokoh tegak tanpa ada yang memainkan, memukulnya atau memegangnya. Lesung ini diam untuk beberapa saat sampai akhirnya ada seorang aktor dengan belanga yang terikat kain merah menyatu dengan kepalanya, ia bergerak pelan dengan sikap seorang penari olang-olang, pelan tapi pasti langkahnya, merapal kata-kata yang mirip mantra yang muncul dari mulut seorang bomo. Ia mengelilingi panggung dengan arah langkah acak, namun tangannya terus mengayun seperti olang-olang.
“Azimat … Belanga tegolek-golek, Belanga liat bertih bertempat, Serakkan Bertih buangkan sakti, Segala puah jauh menjauh.”
Sejatinya, pertunjukan ini seperti sebuah oase di tengah gurun pasir. Hal ini berkaitan dengan minimnya pentas teater dalam kurun waktu dua tahun semenjak pandemi. Lesung Gelegaran adalah sebuah kisah perlawanan rakyat terhadap tiran yang hidup dan menyengsarakan petani. Ia disimbolkan dengan lesung dan alu. Saling mengisi, memukul, berbunyi dan menghimpit. Begitulah, lesung dan alu diciptakan. Ia lahir dari sebuah kegelisahan orang-
orang kampung. Mereka yang mengubah gabah menjadi beras. Mengenyangkan jutaan perut manusia dari zaman ke zaman. Peradaban yang semakin maju menjadi teknologi canggih, tidak mengubah sudut pandang dan kinetis lesung dan alu. Suaranya menggelegar untuk menjadikan pangan mengisi sejengkal perut anak manusia.
Tema yang diusung Mini Teater Riau tidak cukup populer dengan masyarakat saat ini. Apalagi dengan hedonisme kota yang menyajikan apatisme massal. Kota yang tidak mau tahu dengan bagaimana produksi agrarian dari hulu ke hilir. Kota yang menjelma menjadi sebuah industri peradaban tanpa melihat kehidupan desa sebagai penyokong pangannya. Begitulah nasib sebuah desa yang hanya hidup dari pertanian. Memilih tema ini ditengah naskah-naskah populis seputar cinta memang cukup memiliki “nyali”. Konflik agrarian yang dihadirkan cukup kompleks. Penonton pun dipastikan tidak ada yang beranjak dari tempat duduknya hingga pentas berakhir.
Melihat Lesung Gelegaran maka kita akan berbicara tentang sebuah konsep dimana pangan adalah sektor fundamental. Lesung adalah simbol kesejahteraan dan disitu pula bisa diartikan tumpahan darah dan keringat dari petani untuk menghidupi dan menyekolahkan anaknya. Perlawanan yang diangkat dalam pentas ini sangatlah jelas. Dalam hal ini kejelasan itu bukan dari verbal dan dialog, sebab bisa dihitung dengan jari berapa kali aktor-aktor itu menyampaikan dialognya atau bisa dibilang mini kata.
Dialog yang muncul antara lain, “Dan kami adalah fermentasi abjad pada kata, membentang sebagai kalimat seru untuk menggambarkan emosi duka lara”, “Kau tahu kawan ini, ini bagian terakhir setelah tanah kami tak bertanam”, “Semak gulma tak berpucuk disana, Siapa untung siapa? Pada lesung menggelegar, alu juga yang menumbuk bertih hampa.”
Membaca dialog tersebut, jelaslah kekuatan teksnya mengusik kegelisahan hati. Pola dialog dengan mempertahankan rima yang sama, dianggap akan menambah estetika bunyi ketika diucapkan. Analogi-analogi yang berkaitan dengan alam dianggap akan mudah dicerna.
Lesung Gelegaran adalah sebuah perlawanan yang jelas tampak pada simbol-simbol secara konstan dihadirkan oleh sutradara. Belanga yang dipecahkan dan dihancurkan, lalu tangis menyeruak dari tokoh yang menari sebenarnya dengan mudah ditangkap oleh penonton sebagai perlawanan. Apatah lagi, jika pentas ini ditambahkan dengan kekuatan teks verbal yang utuh, lengkap dan kompleks, maka mungkin penonton akan lebih cepat memahami kemauan sutradara. Membutuhkan waktu yang cukup lama, untuk mengisi puzzle atau
kepingan-kepingan adegan yang diramu. Hal ini berkaitan dengan dramaturgi. Sebuah naskah mestinya harus memiliki dramaturgi. Apakah teks ini tidak memiliki dramaturgi yang baik? Tentu tidak bisa dijawab dengan mudah. Mestilah kita melakukan riset dan penelitian terhadap naskah selain hanya melihat bentuk pemanggungannya dalam sebuah pentas.
Konflik yang dihadirkan memang mesti kita jamah lebih dalam. Pangan adalah bagian candradimuka dari sebuah negara. Kondisi pangan yang serta merta telah hancur oleh sistem maupun mekanik pasar tentulah akan membuat tingkat kesehatan dan kesejahteraan dari suatu bangsa menurun. Lesung Gelegaran mengangkat ini sebagai sebuah tamparan bagi kita saat ini. Apakah nasi yang kita makan hari ini di meja-meja makan itu, memang sudah tersaji seperti itu. Tidak! Tentu saja ia melewati banyak proses. Pertanian yang dulu digadang- gadang sebagai negara swasembada kini harus kalah dengan beras impor. Petani harus mengubah gabah menjadi beras, lewat lesung dan alunya. Inilah yang ingin disampaikan kiranya, bahwa lesung dan alu itu menggelegar karena tidak lagi berkhitah pada tempatnya. Ia telah usang dimakan zaman, menjadi benda yang dipajang di museum dan dipamerkan untuk pembelajaran sejarah.
Lesung Gelegaran adalah sebuah karya antropologi. Dimana menurut Koentjaraningrat (2002) bahwa antropologi merupakan studi mengenal umat manusia dengan mempelajari berbagai bentuk fisik, warna dan budaya yang dihasilkan masyarakat. Membaca hal ini, pentas ini sangat dominan dengan kajian antropologi. Kita disajikan sebuah kaleidoskop dari kehidupan desa yang bergantung pada pertanian. Padi yang ditanam lalu menjadi gabah, gabah menjadi beras dan beras menjadi nasi untuk dimakan. Peristiwa kebudayaan inilah yang bisa ditarik sebagai sebab-akibat atau kausalitas kehidupan manusia.
Jika kita analisis lebih dalam, pentas ini sangat pula bersinggungan dengan apa yang disampaikan oleh Eugenio Barba dalam Antropologi Teater (1995) yakni antropologi teater dikembangkan tidak digunakan untuk mempelajari fenomena pertunjukan budaya tetapi pada segala sesuatu yang berkaitan dengan seorang pelaku dan kegunaannya bagi si pelaku itu sendiri. Segala sesuatu terkait dari pra-gerak hingga gerak yang tercipta hingga pemaknaan yang ingin diutarakan oleh gerak. Gerak yang dimaksudkan oleh Barba adalah bukan semata gerak fisik tetapi juga gerak batin pelaku.
Hal ini tentuya menjadi sebuah dasar bahwa apa yang dilakukan oleh aktor Lesung Gelegaran di di atas panggung adalah pemaknaan-pemaknaan simbolik, dimana ada hal yang lebih jauh disampaikan kepada penonton untuk dibaca. Barba sendiri meyakini bahwa peristiwa teater
itu adalah hal yang sangat dekat dengan antropologi. Hal yang berkaitan dengan tindak tanduk aktor, lewat rangkaian kompleksitas pementasan yang meliputi adegan-adegan, musik, cahaya, vokal aktor, efek suara, dan objek-objek yang dipergunakan dalam pertunjukan.
Ade Pura Indra sebagai sutradara kiranya mesti melakukan riset yang panjang atas simbol- simbol yang ia sampaikan dalam Lesung Gelegaran. Mengapa ada Lesung yang muncul disana, aktor yang meliuk dan mengisi ruang pada sebuah dipan, atau lelaki dengan belanga yang kemudian mesti dipecahkannya beriringan dengan suara teriakan. Inilah yang dimaksud dengan Barba tidak adanya dikotomi tentang praktik dan proses yang menjadi penting adalah bagaimana kelengkapan itu menjadi satu kesatuan, lewat ikon, simbol dan gerak yang berangkat dari peristiwa.
Teater Riau hari ini mesti lebih banyak melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat. Kita selalu terlena dengan hasrat picisan. Bukan maksudnya untuk menghindari hal tersebut, namun realitas yang berkembang di masyarakat hari ini sejatinya adalah dialektika kehidupan yang mesti diangkat. Jeritan dan tangis, darah serta pemberontakan itu tidak memiliki warna. Ia adalah rasa sakit yang sama, tidak bisa dilihat atas nama siapa, warna kulitnya apa dan dan asalnya dari mana. Realitas itu harus dipandang setara dan menjadi objek kajian yang perlu didalami ulang oleh pelaku teater.
Lesung Gelegaran adalah sebuah perlawanan atas hegemoni yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Petani, rakyat miskin kota, nelayan adalah kaum-kaum yang termarjinalkan. Maka, proses terjadinya hal tersebut dialihwahanakan lewat sebuah pentas protes. Teater sejatinya memang adalah ruang untuk protes, berpikir, merenung dan refleksi. Maka, siapa yang mendapatkan pesan dari apa yang ditontonnya, bekal pulang itu yang akan termaktub dalam memori penonton. Mereka akan merenungkan segala peristiwa yang dirangkum dalam waktu hanya beberapa menit atau jam. Itulah hakikat teater.
Ade Pura Indra mengambil momen ini sebagai sebuah refleksi. Ia cukup cerdik memadupadankan tema bertepatan dengan peringatan Hari Tani Nasional yang jatuh pada 24 September 2022. Hari yang mestinya menjadi hari raya petani namun mereka malah mendapatkan banyak hal yang masih jauh dari sejahtera. Sungguh itu adalah sebuah pemandangan yang paradoksal. Lantas, perayaan itu dipindahkan ke sebuah gedung seni bernama Anjungan Seni Idrus Tintin untuk membuka mata penonton yang didominasi oleh orang-orang kota dan memiliki pendidikan yang mumpuni. Mereka yang mungkin abai pada nasib petani.
Siapa yang tidak ingat dengan Salim Kancil? Lelaki dengan kumis tipis itu memiliki nasib yang sama dengan aktifis Munir. Salim Kancil berbeda karena ia memang bukan seorang aktifis akademis, mengenali persoalan HAM dan melawan tiran lewat pasal dan bab. Salim Kancil, pria paruh baya itu adalah pemimpin dari gerakan revolusi dari Desa Selok Awar- awar di Lumajang, Jawa Timur. Petani yang bersuara karena air irigasi di sawahnya tidak lagi mengalir akibat tambang pasir. Meneriakkan suara-suara kebenaran namun harus dibekap secara paksa oleh oknum-oknum. Ia mengalami kekerasan, diseret, disiksa hingga akhirnya berujung maut.
Konflik agraria adalah polemik yang tak habis-habis di negeri ini. Ia seperti jamur di musim hujan. Siapa yang memiliki dana, relasi dan kekuatan akan mengalahkan kaum yang termarjinalkan seperti petani. Lesung Gelegaran berhasil mengungkap konsep itu ke atas panggung. Lesung itu menggelegar dengan bunyi alunya. Ia memecah kesunyian, dimana orang-orang lebih banyak diam jika berhadapan dengan tiran. Suara-suara petani itu masuk dalam celah-celah ruang kesenian sebab suaranya tak lagi didengar oleh ruang lain.
Lesung Gelegaran identik dengan budaya Jawa. Lesung bagi masyarakat Jawa adalah sebuah jati diri kehidupan. Dalam mitologi mereka bunyi lesung berarti penyelamatan Roro Jonggrang yang terselamatkan dari anaknya sendiri yaitu Bandung Bondowoso yang hendak menjadikannya istri. Selain itu, mempercayai bahwa padi bukan sekadar tumbuhan pangan, namun ia adalah Dewi Sri atau Dewi Kesuburan. Lesung adalah identitas kebudayaan yang tak lepas dari masyarakat Jawa. Maka entitas itu adalah sebuah antropologi yang mencakup latar belakang, peristiwa dan masyarakat tersebut.
Richard Schechner (1988) mengatakan bahwa kontak budaya tidak hanya merupakan proses referring tetapi juga proses pembentukan potensi setiap unsur yang terlibat di dalamnya. Potensi budaya melibatkan unsur-unsur budaya–termasuk di dalamnya hal-hal yang tabu, keramat, dan mempribadi– dalam masyarakat atau komunitas yang mampu menjadi alat pendukung terjadinya transformasi komunikasi antar manusia, dan lingkungan sekitar. Pentas ini memang tidak menghadirkan aksen Jawa, semisal berupa tembang atau nyanyian. Inilah yang sedang diramu oleh Ade Pura Indra, ia mencoba masuk dalam peta besar nusantara. Lesung itu digarap dan berkelindan dengan tarian olang-olang, ia masukkan rapalan mantra dan bebunyian petalangan. Lesung Gelegaran yang disajikan adalah Lesung yang berada dalam tanah-tanah adat Talang. Aroma kental talang mamak dengan kekhasan
Indragiri Hulu yang muncul. Maka, jadilah Lesung Gelegaran itu sebuah garapan yang menyatukan konsep antropologi kebudayaan suatu masyarakat.
Lesung Gelegaran di Batas Growtosky dan Barba
Menyaksikan pertunjukan Lesung Gelegaran mulai dari teknik muncul sampai usai. Kita mesti menganalisis dialektika, penyajian simbol serta akumulasi dari peristiwa masa lalu. Aktor yang menjadi kunci penyampai pesan harus mampu berjibaku dengan komplikasi panggung. Ia adalah tubuh yang mesti mengubah simbol menjadi pesan. Lesung Gelegaran menyajikan itu sepanjang pertunjukan, dimana ketiga aktor terus mengarak pikir penonton untuk menerka, mencari, menyimpulkan. Kerja otak penonton bergumul dengan pesan dan simbol yang disampaikan oleh aktor.
Kemunculan tiga orang aktor yang punya peran sendiri-sendiri sebagai pembangun emosi penonton muncul dengan riset yang cukup. Hanya saja, ada beberapa hal yang membuat penonton memaksa untuk menyatukan enigma kepingan adegan. Adegan transisi aktor yang gelisah dengan tongkat kayu yang berpindah-pindah merupakan sebuah hal yang cukup menyita waktu. Pola lantai yang dimainkan memang menarik dengan memanfaatkan sembilan bagian panggung. Ketiga aktor secara konsisten bergerak pada sebuah pola dan garis. Memberikan tongkat kegelisahan dan perlawanan itu secara estafet. Hanya saja, protes mereka dengan melingkar, berlari kecil, berjalan setapak, mundur beberapa langkah cukup menguras waktu dan pikiran. Ditambah lagi adegan berguling atau rolling, mengangkat meja dan mendorong level.
Penonton sebenarnya sudah memahami adegan tersebut secara jelas, ditambah lagi beberapa dialog yang diselipkan. Namun, perlunya evaluasi adegan demi adegan adalah salah satu yang hilang. Proses evaluasi atau cut-action mestinya berjalan hingga pertunjukan dipentaskan. Menghadirkan mata penonton awam sebelum pentas yang sesungguhnya, sejatinya akan membuka mata sutradara untuk lebih peka pada waktu. Permainan adegan ini juga menguras tenaga pemain yang memang tampak kelelahan di akhir. Walhasil, kembali lagi fokus pada timing dan fisik aktor dalam sebuah pentas teater yang minim dialog. Kedepannya perlu ketelitian dan perhatian lebih untuk mengungkap isi dan makna tiap adegan sehingga padat dan bernas.
Penggunaan visual effect yang muncul merupakan sebuah langkah baik. Ia adalah senjata yang membuat fokus berubah. Paradigma menonton sedikit berwarna dan paling penting
membuat penonton tidak beranjak dari tempat duduknya. Sutradara cukup cerdas untuk menghadirkan variasi dan pola pementasan. Menembakkan layarnya ke atap gedung pertunjukan juga merupakan sebuah inovasi yang perlu diacungi jempol. Inilah yang perlu sutradara-sutradara di Riau temukan. Mencari bagian-bagian yang belum terjamah. Menemukan hal yang jauh, mencari sesuatu yang hampir punah. Sejatinya, seorang sutradara adalah seorang yang visioner, memandang jauh pikiran penonton. Bekerja dengan mata aktor, penonton dan sutradara.
Jika dilihat dari pada sajian pertunjukan, pentas ini bersinggungan dengan apa yang disampaikan oleh Jerzy Growtosky bahwa teater hanya membutuhkan aktor. Peran seting, kostum, ornamen pelengkap lain dianggap tidak penting. Begitu pula yang sedang dihadirkan sutradara untuk menjabarkan tiga tubuh aktornya untuk menjadi subtitusi atas hilangnya peran properti. Di awal saja, tiga tubuh itu mencoba membuka ruang imajinasi penonton. Ia ingin membuka “tutup botol” dan mengalirkan pada penonton yang haus berupa tontonan “cerdas”.
Grotowsky memang dikenal sebagai tokoh teater miskin. Daya imajinasi dan stamina aktor adalah hulu ledak dari sebuah pertunjukan. Mini Teater Riau coba menerapkan itu dengan memainkan komposisi panggung, variasi suara, serta pemecahan suasana dan kesemuanya harus berkelindan dalam sebuah dramaturgi yang apik. Tiga aktor itu “dipaksa” bermain tangkas dalam durasi hampir satu jam. Sejatinya teater miskin yang coba dihadirkan menunjukkan kualitas aktor dari pertunjukan tersebut, apakah mampu atau tidak?
Inilah yang coba dihadirkan dengan menghidupkan tubuh aktor sebagai “ladang” bermain. Mereka sedang menyampaikan bahwa tubuh adalah aset paling penting dalam sebuah pertunjukan. Ada pesan yang ingin disampaikan bahwa stupid actor itu tidak ada, setiap aktor akan menjadi smart actor dengan tubuh yang ia miliki. Permainan panggung tiga aktor tersebut berada pada batas yang disampaikan Grotowsky. Adanya pola tubuh yang terus menerus bermain dan mencapai katarsisnya lewat pendayagunaan keaktoran. Lesung Gelegaran berdiri tepat di sisi batas apa yang Grotowsky lakukan.
Selain itu, penafsiran Lesung Gelegaran juga bisa ditarik dari mata Eugenio Barba, adalah proses pra-ungkap dimana dalam fase ini tujuan utama adalah menghadirkan energi, gerakan bios Barba dimana artinya proses memiliki konsistensinya sendiri, logikanya sendiri, tidak tergantung pada makna. Proses ini sebaiknya melakukan dekonstruksi ekspresi, dan kemudian melakukan rekonstruksi sehingga mampu merefleksikan kehidupan.
Pra-ungkap yang dimaksud adalah tubuh aktor. Ia adalah inti dari teater. Memori, gerak serta akulturasi kemampuan tubuh dalam menyampaikan antropologi peristiwa. Barba menyebutnya sebagai performer’s physical diary yaitu koleksi kekayaan teknis yang menjadi pendukung etik sekaligus spiritual pelaku ketika proses pencarian berlangsung. Koleksi ini dapat divisualkan, dipahami baik secara praktek maupun teori.
Terlepas dari Grotowsky atau Barba, Lesung Gelegaran dianggap berdiri di batasnya. Ia tidak memilih di antara keduanya, namun menjadi jembatan antara guru dan murid itu. Kedua tokoh itu menjadi benchmarking dalam kekaryaan. Tubuh manusia adalah kekayaan dan ciptaan Tuhan paling sempurna. Maka tubuh teater adalah teater yang sebenarnya lebih kompleks dari apapun set panggung yang ada. Kinetis tubuh yang dinamis bisa dibentuk menjadi apapun pesan yang ingin disampaikan.
Lesung Gelegaran adalah pencarian bentuk tubuh menjadi sebuah peristiwa besar dari kaum tani. Mereka menjadi bagian besar ketahanan pangan negeri ini. Penciptaan karya yang mengandung nilai-nilai adiluhung. Karya ini dipentaskan dengan pola inovasi. Menjalin memori dengan isu-isu kontemporer. Paparan dan presentasi gerak tubuh ini menjadi episentrum pertunjukan. Ia menjamah dialektika penonton. Ada kompleksitas di dalam pentas ini. Suara-suara yang meracau dan membatin dalam tubuh aktor dihadirkan dengan elegan. Mata penonton dibuat bergerak liar ke seluruh panggung.
Secara keseluruhan dan teknis permainan Mini Teater Riau telah berhasil menenggelamkan penonton pada sebuah peristiwa. Lesung Gelegaran akan menjadi memori kolektif penonton malam itu. Bekal pengetahuan mereka tentang pergolakan atas kesemena-menaan menjadi isu besar yang dalam menata negeri ini ke depan. Ade Pura Indra mampu mengatasi tekanan jumlah penonton yang sesak malam itu. Begitu juga dengan tiga aktor yang memiliki stamina prima.
Teater Riau hari ini mestilah masuk dalam ranah mencerdaskan secara konstruktif. Menalar dengan jelas apa dan mau dibawa kemana penonton hari ini. Isu-isu besar mesti dibaca dan dikupas untuk dijadikan pentas. Bukankah teater seperti sebuah cermin? Ia menjadi alat untuk menangkap semua bentuk, gambar, warna lalu dipantulkan. Kegelisahan, kecemasan, intimidasi, supremasi, legitimasi dan hal lainnya yang berpihak pada suara rakyat mestinya ditangkap dalam cermin yang bersih. Cermin itu masih ada. Penonton, aktor, sutradara, dan panggung adalah cermin. Cermin itu masih ada dalam dengus nafas kelompok teater di Riau. Ia masih utuh dan dijaga bersih, ia belum retak, apalagi pecah. Tabik Mini Teater Riau!
Daftar bacaan:
Barba, Eugenio. 1995. The Paper Canoe. Routledge: London.
Grotowski, Jerzy. 1975. Towards a Poor Theatre, Eyre Metheun Ltd: London. Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta: Jakarta. Schechner, Richard, , 1988. Performance Theory, Routledge, New York and London.
Biodata penulis:
Rian Kurniawan Harahap, M.Pd merupakan Ketua Jaringan Teater Riau periode 2022-2024 serta Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Kota Pekanbaru. Memenangkan lomba esai teater Lembaga Bumi Sumatera Barat pada Festival Wisran Hadi. 2021. Terbaik II sayembara naskah drama nasional Dewan Kesenian Metro Lampung tahun 2020. Menulis puisi, cerpen dan esai di berbagai koran lokal dan nasional.